Oleh: Swary Utami Dewi
(Anggota TP3PS, Pendiri NARA dan KBCF, Climate Leader Indonesia)
Pada 20 Juli 2022, aku menyimak acara tahunan penganugerahan Kalpataru yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada dua sosok muda yang menyedot perhatianku. Pertama Rudi Hartono, kelahiran 1995, yang memenangkan kategori perintis. Rudi, yang berdarah Sulawesi ini, menggerakkan warga sekitar Sungai Kupah untuk cinta lingkungan, khususnya mangrove, yang ada di pesisir kampungnya. Akhirnya dia berhasil mendorong berdirinya Ekowisata Telok Berdiri di Sungai Kupah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Sementara Amalia Rezeki, yang lahir 1988, bersama sesama pecinta satwa dan lingkungan menggerakkan komunitas “Sahabat Bekantan Indonesia” di Kalimantan Selatan. Bekantan, yang juga kerap disebut monyet berhidung panjang, merupakan salah satu satwa endemik Kalimantan yang terancam punah. Padahal satwa berperut buncit dan berambut merah kecoklatan ini merupakan satu-satunya primata di dunia yang mampu berenang dengan baik. Di telapak kaki dan tangan bekantan ada selaput kulit (web) seperti katak, yang memudahkan hewan herbivora ini berenang menyeberangi sungai. Kemampuan mobilitas bekantan yang tidak hanya mampu menjelajah pohon di hutan tapi juga mengarungi sungai, membuat binatang ini merupakan penyebar bibit tumbuhan yang baik.
Habitat bekantan sendiri di ekosistem lahan basah, yakni hutan mangrove, hutan riparian dan hutan rawa (baik rawa air tawar maupun gambut). Karena itu upaya penyelamatan bekantan erat kaitannya dengan menjaga ekosistem lahan basah tersebut. Amalia dan kawan-kawan di komunitasnya telah berupaya selama 10 tahun untuk menyelamatkan bekantan. Tepat kiranya jika dia menggondol Kalpataru untuk kategori penyelamat.
Apa yang dilakukan oleh Amalia dan Rudi, bagi mereka yang memiliki perhatian terhadap isu perubahan iklim, bahkan krisis iklim, bisa jadi bermula dari perasaan khawatir melihat potensi kerusakan atau kepunahan. Bisa jadi juga berawal dari melihat apa yang ada di sekitar mereka, lalu merasa “terganggu”. Inilah yang secara sederhana disebut sebagai eco-anxiety. Ada yang mengartikan ini sebagai ketakutan kronis akan kehancuran lingkungan. Namun ada yang lebih moderat melihat ini sebagai bentuk kekhawatiran akan rusaknya lingkungan dan alam. Meski beberapa literatur, menunjukkan bahwa kajian tentang kecemasan ekologis ini dilakukan intensif sejak 2007, namun fenomena ini seakan tertutup oleh berbagai isu lain. Sejalan dengan makin dirasakannya dampak perubahan iklim, yang bahkan sudah menjadi krisis iklim, juga adanya perkembangan informasi teknologi (IT) yang memudahkan banyak orang, utamanya kaum muda yang melek IT, untuk mengakses informasi dan pengetahuan, istilah eco-anxiety bergaung kembali. Meski banyak yang tidak langsung menggunakan istilah tersebut, namun kepedulian terhadap lingkungan dan alam rata-rata bermula dari kekhawatiran akan nasib bumi beserta isinya, yang sudah dan sedang didera krisis iklim.
Sejauh mana kekhawatiran ini lalu ditransformasikan menjadi aksi nyata penyelamatan bumi? Jika ditanya secara kuantitatif tidak mudah menjawabnya. Namun faktanya, aksi ini nyata ada di mana-mana dalam berbagai bentuk yang mampu dilakukan masing-masing. Salah satu yang banyak mengambil peran di sini adalah kaum muda, yang dengan kesadarannya bahwa bumi ini perlu diselamatkan lalu mempergunakan kecanggihan IT serta mengadakan aksi sesuai kreativitas masing-masing. Rudi Hartono dan Amalia Rezeki merupakan contoh nyata yang memutuskan berbuat banyak untuk bumi.
Contoh lain adalah upaya yang dilakukan komunitas internasional, the Climate Reality Project, termasuk yang ada di Indonesia, untuk menggaungkan berbagai aksi nyata, dengan istilah act of leadership. Kesadaran bahwa bumi merupakan urusan kini dan nanti memang memerlukan pemahaman dan dukungan kaum muda sejak kini. Pemilik masa depan ini harus bisa menyadari bahwa aktivitas dan gaya hidup manusia yang keliru, yang telah membuat bumi semakin panas, perlu diubah. Berbagai bentuk advokasi oleh kaum muda karenanya dilakukan untuk penyadaran dan penggalangan aksi langsung, misalnya dalam bentuk pelatihan, kemping pemuda, menanam pohon, kampanye melalui webinar dan media sosial, serta menyelenggarakan kelas Youth Leadership on Climate Crisis. Pegiat Climate Reality Indonesia sendiri memang banyak yang berusia muda, bahkan masih belasan tahun. Namun mereka telah menjadi agen penggerak perubahan dan penumbuh kesadaran. Ini sekaligus contoh nyata untuk memperlihatkan bagaimana eco-anxiety, yang dikelola secara positif dan digerakkan secara bersama, mampu bertransformasi menjadi energi penggerak untuk penyelamatan bumi dan isinya. Rudi, Amalia dan kaum muda di Climate Reality Indonesia, serta ribuan pemuda lainnya, telah terbukti menjadi harapan masa kini dan masa depan bagi kita semua.