Catatan dari Kegiatan Urip nDeso #reguler Sekolah Pagesangan, 28-30 Desember 2023
Penulis: Arifah Handayani
Sebagai Community Action Manager di Climate Reality Indonesia, dan aktivis yang telah bergerak lebih dari 13 tahun dalam upaya mengarusutamakan krisis iklim, saya baru benar-benar menyadari betapa rentannya sistem pangan negeri kita menghadapi ancaman krisis iklim. Hadir sebagai peserta dalam kegiatan Urip nDeso #reguler yang diselenggarakan oleh Sekolah Pagesangan, 28-30 Desember 2023 lalu, saya mendapat pengalaman tinggal dan belajar bersama keluarga petani yang difungsikan sebagai Rumah Inap di Dusun Wintaos, Girimulya, Panggang-Gunungkidul.
Belajar Merdeka Pangan di Rumah Inap
Keluarga petani di Rumah Inap menjadi keluarga baru bagi peserta kegiatan Urip nDeso, hingga kami berkesempatan merasakan kehidupan domestik keluarga petani Wintaos sehari-hari. Berkenalan dengan keseharian keluarga petani , mengajak kami mengenal lebih dekat bagaimana masyarakat setempat berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Kami belajar bagaimana keluarga petani memberdayakan apa yang disediakan alam sekitarnya untuk modalitas penghidupan sehari-hari, mereka makan dari hasil tanaman di halaman dan ladangnya, mereka juga mengelola peternakan kecil yang dimiliki dengan memanfaatkan pakan yang disediakan alam.
Baru saya sadari, meski kehidupan sebagai petani desa terkesan sarat keterbatasan, ternyata mereka menyimpan kekayaan luar biasa, terutama terkait merdeka pangan. Dapur para petani tidak pernah terpengaruh naik turunnya harga bbm, karena mereka bisa bebas memasak menggunakan kayu bakar yang terserak melimpah di ladangnya. Mereka memiliki cukup bahan makanan pokok seperti beras, jagung, singkong, dan kacang-kacangan, awet tersimpan di Pesucen, bagian dari rumahnya yang berfungsi sebagai lumbung. Para petani di Desa Wintaos ini umumnya memiliki bahan makanan pokok yang cukup untuk hidup keluarganya selama setahun. Jika membutuhkan protein lebih, mereka bisa memanen telur di kendang ayam, atau mengolah kacang-kacangan seperti kedelai, benguk, dan koro menjadi produk pangan seperti tempe dan bubur kacang. Buah-buahan, sayuran, dan bumbu-bumbuan juga berlimpah ditanam di halaman dan ladang para petani Desa Wintaos.
Betapa kayanya mereka, tidak perlu tergantung pada siapapun untuk bisa mengolah makanan terbaik dalam hidup, yaitu makanan yang ditanam, dipanen, dan dimasak sendiri. Mereka juga bercocok tanam dengan begitu Merdeka, karena tidak perlu membeli bibit, ataupun pupuk dari siapapun. Hasil ladang dan pertanian, mereka simpan untuk konsumsi keluarga, bilamana berlebih baru mereka jual di pasar. Sebentuk lukisan kehidupan yang tidak akan pernah saya hampiri sebagai penduduk perkotaan, jika belum pernah mengalami sendiri di sini.
Membangun Literasi Pangan Lestari
Selain belajar di Rumah Inap, pada kegiatan Urip nDeso peserta mengikuti program belajar yang telah dikemas dalam berbagai sesi: Sobo Tegal (Belajar di Ladang), Sobo Pawon (Belajar di Dapur), Sobo Olahan (Belajar Mengolah Produk Pangan), Sinau Tani (Belajar Bertani) dan Refleksi/Literasi Pangan.
Literasi pangan adalah sesi yang paling menghentak kesadaran dan melucuti lapis demi lapis pola pikir saya sebagai masyarakat urban, yang terbiasa mengikuti pola hidup konsumtif ala business as usual, yang memenjara kita pada sistem pangan dengan konsep industrial farming yang terus menerus menyakiti alam. Membuat kita dipaksa menghitung dosa pada bumi, mengingat berapa luasan hutan telah dibabat, agar selalu tersedia nasi, sayuran, dan buah-buahan di meja makan.
Belum lagi ketika berhitung seberapa petani yang telah menanam makanan tersebut memperoleh imbalan atas keringat dan lelah mereka, menanam makanan untuk kita konsumsi. Rantai pasok pangan yang masih jauh dari kata adil apalagi berdaulat bagi petani negeri. Semakin terasa dosa-dosa ini, ketika mengingat betapa banyak sampah dihasilkan oleh pola hidup konsumtif, seringnya membuat kita suka membeli makanan dari gerai-gerai online penghasil sampah anorganik yang sulit terurai. Terlebih ketika kita mulai berhitung berapa emisi dihasilkan dari sistem pangan berbasis industrial farming, ditambah hancurnya kondisi tanah dan sumber-sumber/aliran air akibat sembrononya ulah manusia demi mengenyangkan perutnya sendiri.
Sebagai seorang ibu dari 4 anak, batin saya ikut teriris kala mengingat makanan apa yang selama ini saya sediakan untuk buah hati. Tanpa memikirkan bagaimana makanan itu dihasilkan, apakah mengandung residu zat-zat aditif seperti pupuk kimia dan pestisida. Apalagi ketika membeli makanan hasil olahan industri, mana pernah terpikir residu bahan pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap yang terkandung dalam makanan sehari-hari anak-anak.
Belajar literasi pangan Lestari membangunkan sebentuk kesadaran, alih-alih menjadi bagian dari solusi krisis iklim, ternyata sebagai aktivis lingkungan saya masih menjadi bagian dari masalah, yang entah bagaimana caranya dapat menyegerakan diri ikut bertransisi menjadi bagian dari sistem pangan lestari, setidaknya dari lingkungan rumah dan sekitarnya, seperti petani di Desa Wintaos.
Menutup kegiatan Literasi Pangan, kami diajak berdiskusi untuk mencermati, aksi nyata yang paling mungkin dikerjakan, transisi sistem pangan seperti apa yang mungkin dihampiri sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat urban yang selama ini hidup bergantung pada sistem pangan yang masih belum bersahabat dengan bumi. Kami diajak untuk meyakini, sekecil apapun proses transisi yang mungkin dikerjakan, pasti akan berpotensi membawa perbaikan, minimal di lingkup terkecil seperti keuarga.
Belajar dari Budaya dan Alam Desa Wintaos
Siapa sangka, ketika sebagai aktivis lingkungan berbusa-busa kami ikut membicarakan konsep-konsep SDGs, seperti circular economy, dan regenerative farming, ternyata masyarakat petani di Desa Wintaos sudah diajarkan untuk mengaplikasikan konsep tersebut dalam kearifan pangan lokal dari leluhurnya.
Lewat kegiatan Sobo Tegalan kami belajar bagaimana petani di Wintaos menggunakan konsep diversifikasi tanaman untuk memelihara kesuburan tanah dan memastikan ragam pangan yang tersedia untuk keluarganya. Selain itu kami juga diajak mengeksplorasi kekayaan biodiversitas berupa tetumbuhan liar yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk kesehariannya sebagai obat, atau untuk keperluan lainnya. Selama setengah hari kami diajak petani yang bertindak sebagai mentor berjalan-jalan menyusuri bukit dan Lembah, menuju ladang-ladang mereka. Membawa pulang pengalaman belajar tentang keragaman jenis tanaman pokok (terutama umbi-umbian), sayuran, buah, dan kacang-kacangan, langsung dari ladang-ladang yang mereka kelola.
Harapan akan bergeraknya solusi krisis iklim membuncah, ketika menyaksikan betapa ajaran leluhur dipegang teguh untuk memastikan ladang-ladang tetap subur dan memberi hasil yang menyejahterakan keluarganya, ketika dipanen secara bergantian sesuai keragaman pola dan waktu tanamnya. Kegiatan ditutup dengan Ndegan (meminum dan memakan daging kelapa muda) yang menjadi istimewa pada perjalanan Sobo Tegal, karena kami dapat menikmati makanan tersebut langsung dari pohonnya, sambil beristirahat menikmati kesegaran udara dan sepoi angin di ladang.
Setelah selesai belajar di ladang, kami diajak untuk menyelami bagaimana masyarakat Desa Wintaos mengolah hasil panennya dalam kegiatan Sobo Olahan. Peserta diajak mempraktekkan proses pembuatan Tiwul (nasi tiwul maupun tiwul ayu) sebagai olahan singkong, dan pembuatan Tempe Koro sebagai olahan dari kacang koro. Kedua produk ini adalah unggulan dari Kedai Pagesangan yang memungkinkan masyarakat mendapatkan nilai tambah secara ekonomi dari hasil panen mereka. Kami juga belajar cara masyarakat petani di Wintaos mengawetkan produk pangan mereka sebelum disimpan di Pesucen.
Kegiatan Sobo Pawon, kami kerjakan di Rumah Inap, dengan cara terlibat langsung menyiapkan makanan kami sendiri di dapur milik petani yang rumahnya kami tempati. Kami difasilitasi belajar mengolah pangan yang dihasilkan dari hasil panen ladang maupun pekarangan. Sobo Pawon pada Urip nDeso #reguler di rumah inap kami kerjakan sejak hari pertama program, setiap menjelang waktu makan sampai hari terakhir kami di sana.
Sebagai bagian dari kegiatan belajar budaya masyarakat di Desa Wintaos kami diajak untuk mengikuti Pameran Urip Ndeso difasilitasi kelompok anak yang bergiat di Sekolah Pagesangan. Kami juga menyaksikan pentas berjudul “Kisah Biyung Umbi” lakon dari Teater Anak Sekolah Pagesangan. Kedua kegiatan tersebut menunjukkan dedikasi Sekolah Pagesangan dalam menginternalisasi esensi Urip nDeso di diri anak-anak sekolahan yang bergiat di sana. Belajar literasi pangan melalui media teater menjadi salah satu metode yang diterapkan Sekolah Pagesangan. Melalui ‘teater’, anak-anak diajak untuk mengeksplorasi sumber daya pangan di sekitarnya dan memahami persoalan pangan yang mereka alami. Kegiatan ini didukung dan disaksikan oleh masyarakat yang berdomisili di Desa Wintaos. Menutup kegiatan tersebut kami diberi kesempatan untuk memahami dan membangun relasi dengan pesan yang disampaikan melalui pementasan tersebut.
Kegiatan berjejaring dengan masyarakat Wintaos pada gilirannya diharapkan dapat memperkuat nilai dari potensi yang dimiliki, di antaranya menjadi lebih bangga dengan olahan pangan dan tradisi tani yang dimiliki, mengolah makanan secara sehat, juga mendapatkan pengalaman baru melalui hidup dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang, kebiasaan, budaya, dan keyakinan. Melalui jejaring ini diharapkan masyarakat Wintaos juga dapat belajar mentransisi cara pandang tentang desa, bahwa ternyata kesejahteraan juga bisa diwujudkan dari dan di Desa.
Sinau Tani (Belajar Bertani)
Lewat kegiatan Sinau Tani, kami belajar tentang praktik budi daya pertanian Lestari, materi dalam Sinau Tani menjadi bekal yang bisa kami terapkan di kehidupan sehari-hari. Hal terhebat dari kegiatan ini, kami mengenal tentang benih pusaka dan lokal, sebagai bagian esensial dari kedaulatan pangan.
Kami juga diajari pentingnya menghasilkan pupuk organik sendiri, yang akan lebih mampu menjaga kesehatan dan kesuburan lahan-lahan pertanian. Betapa kearifan lokal juga memiliki ajaran tentang cara menghindari hama dan penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan alami yang bisa ditemukan di alam. Mengukuhkan paham bahwa sesungguhnya konsep regenerative farming yang mendukung pola pertanian lestari sudah ada dalam kearifan leluhur yang tergerus oleh gempuran industrial farming, karena menjanjikan keuntungan materi yang lebih besar tanpa mengingat efek samping dari alih guna lahan dan penggunaan bahan-bahan kimia pada pertanian.
Masygul rasanya ketika mengetahui, ternyata petani dalam sistem pangan berbasis Industrial Farming tidak memiliki kedaulatan bahkan untuk mengembangkan benih pusaka turun temurun, seperti yang diajarkan pada kearifan lokal petani di Desa Wintaos. Masalah terbesar yang dihadapi oleh desa-desa pemegang ajaran leluhur terkait pertanian Lestari adalah semakin rendahnya populasi petaninya. Untuk belajar bagaimana kearifan lokal diajarkan turun temurun Sekolah Pagesangan harus menemui petani-petani sepuh yang usianya sudah melewati 60 tahun.
Adalah permasalahan negeri kita, ketika pertanian masih menjadi wilayah yang hingga hari ini kurang diminati oleh para pemuda desa, umumnya mereka memilih menjadi pekerja di kota, walaupun hanya mendapatkan gaji senilai UMR lokal. Kegiatan semacam Urip nDeso baik #reguler maupun #kelompokanak yang dinisiasi Sekolah Pagesangan diharapkan dapat menjadi tonggak bagi perubahan paradigma menyaksikan Sistem Pertanian, dan menjadi pijakan untuk loncatan transisi kesadaran bangsa akan kekayaan budaya dan ajaran leluhur di bidang Pertanian.
Fasilitator Urip nDeso #reguler
1. Sekolah Pagesangan
Sekolah Pagesangan (SP) adalah komunitas yang mengembangkan model dan cara belajar menuju keberdayaan dari desa. SP dirintis sejak akhir 2008 di Dusun Wintaos, Girimulya, Panggang, Gunungkidul. SP menerapkan pendekatan pendidikan kontekstual dimana pada praktiknya mempelajari hal-hal yang relevan dengan kehidupan. Pendidikan kontekstual ala SP di Wintaos jadi upaya merespon persoalan bersama yang dihadapi komunitas terutama yang erat kaitannya dengan persoalan sistem pangan.
2. Banning Prihatmoko
Banning Prihatmoko, penggiat pangan, dan lingkungan. Aktif menjadi fasilitator dan peneliti di Nawakamal dan Relawan di Sekolah Pagesangan. Kegiatan sehari-hari berkebun dan beternak. Sedang belajar tentang etika lingkungan dan pertanian.
3. Diah Widuretno
Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan. Selain bergiat di issue pangan lokal, Diah juga pegiat pendidikan kontekstual. Diah memfasilitasi dan menemani anak-anak muda yang ingin belajar praktik Pendidikan kontekstual dan fasilitasi pemberdayaan desa. Diah juga aktif memfasilitasi Kelompok-kelompok belajar di Sekolah Pagesangan maupun komunitas lainnya, menulis, dan bertani.
4. Lifia Nuryati, Heni Lestari, El, Geri Tobias
Lifia Nuryati, Heni Lestari, dan Geri adalah orang-orang muda asli kelahiran dari Dusun Wintaos. Sejak usia sekitar enam tahun, mereka telah menjadi warga belajar dan bagian dari Kader Sekolah Pagesangan. Pada kesempatan Urip nDeso #serianak mereka akan memfasilitasi sesi Sobo Tegal.
5. Tuparsi, Musini, Karyati, Sutiyem
Tuparsi, Musini, Karyati, Sutiyem adalah para perempuan yang dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya tani Wintaos. Sejak kecil mereka dididik menjadi pelaku pertanian dan pengelolaan pangan. Mereka telah menekuni kegiatan tetanen Gunungkidulan lebih dari 40 tahun hingga kini. Pada kesempatan Urip nDeso mereka akan memfasilitasi sesi Sobo Tegal.
6. Muji, Ngapiyem, Sudinem, Paini, Marsiyem, Mainem, Sumei, Sri, Marsih, Esti, Purwanti, Yuli, Rukini, dan Sunes
Muji, Ngapiyem, Sudinem, Mainem, Murniatun, Paini, Marsiyem, Sumei, Sri, Marsih, Esti, Purwanti, dan Sunes adalah para perempuan anggota Kelompok Perempuan SP. Mereka akan memfasilitasi proses belajar di sesi Sobo Pawon dan Sobo Olahan.
Dokumentasi: Sekolah Pagesangan