Acara Youth Climate Leadership Camp 2024 diadakan pada tanggal 12 Juni 2024 di Villa Kebunsu Bogor, Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menghadapi eskalasi krisis iklim yang semakin mendesak, ICESCO dan The Climate Reality Project Indonesia menyadari bahwa edukasi terkait isu lingkungan adalah langkah penting untuk membangun kesadaran dan tindakan nyata. Oleh karena itu, acara ini dirancang untuk melibatkan berbagai pihak yang memiliki minat dan tanggung jawab dalam merawat lingkungan, mulai dari generasi muda hingga tokoh senior, yang semuanya dipandang memiliki peran penting dalam menjagakeberlangsungan planet kita.
Penting untuk dicatat bahwa tantangan lingkungan tidak mengenal batas geografis.
Dalam era globalisasi ini, kerjasama lintas negara menjadi semakin penting. Oleh karena itu, Youth Climate Leadership Camp ini dihadiri oleh peserta dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, Brunei, Kamboja, Pakistan, dan Tiongkok. Totalnya, terdapat sekitar 50 peserta yang hadir dalam acara ini. Untuk memastikan kenyamanan peserta, mereka ditempatkan di ruangan yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Acara dimulai sekitar pukul 8 pagi, dengan peserta dapat menikmati sarapan dengan hidangan khas Kota Bogor sebelum acara resmi dimulai.
Pembukaan acara akan diawali dengan sambutan dari salah satu perwakilan peserta, yang kemudian diikuti dengan kehadiran para tokoh penting, termasuk Direktur The Climate Reality Project Indonesia Indonesia. Kehadiran mereka menjadi simbol kolaborasi dan komitmen bersama dalam mengatasi krisis iklim yang sedang dihadapi. Sesi pembukaan Youth Climate Leadership Camp 2024 dimulai dengan rangkaian pidato yang menginspirasi dari para tamu undangan dan penyelenggara, yang menetapkan semangat untuk acara yang bertujuan membangun kesadaran lingkungan dan pemberdayaan pemuda. Ibu Amanda Katili Niode P.hD, selaku Direktur The Climate Reality Project Indonesia memulai dengan menyoroti pentingnya acara ini secara global, dengan menekankan peran penting pemuda dalam membentuk masa depan yang berkelanjutan. Begitu juga dengan Fahman Faturrahman, sebagai perwakilan dari ICESCO menegaskan komitmen ICESCO dalam meningkatkan kesadaran lingkungan dan pendidikan di kalangan generasi muda. Ibu Prof. Dr. Haruni Krisnawati menyusul dengan pidato yang menguraikan strategi nasional Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Beliau mendorong peserta untuk menjadi agen perubahan di komunitas mereka, dengan menekankan pentingnya aksi bersama dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya, berbagi inisiatif-insiatif inspiratif untuk memupuk generasi pemimpin lingkungan berikutnya. Beliau mendorong para pemuda untuk mengadopsi inovasi dan kolaborasi dalam menghadapi tantangan lingkungan, guna memastikan masa depan Indonesia yang lebih hijau dan tangguh. Rachmat Witoelar, mantan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, merenungkan komitmennya seumur hidup dalam advokasi lingkungan.
Beliau memuji kerja sama antara The Climate Reality Project Indonesia, ICESCO, dan pemangku kepentingan lokal dalam menyelenggarakan kamp ini, dengan menyoroti kekuatan upaya bersama dalam menciptakan perubahan yang bermakna. Sekretaris Daerah Bogor memberikan wawasan lokal, menekankan tantangan lingkungan unik yang dihadapi oleh Bogor. Beliau menegaskan pentingnya menghubungkan inisiatif global dengan aksi lokal, dan mendorong peserta untuk menerapkan pembelajaran dari kamp ini dalam mengatasi masalah lingkungan yang mendesak di komunitas mereka.
Sebelum menyelam lebih dalam 50 peserta diajak terlebih dahulu untuk mengenal apa itu The Climate Reality Project Indonesia ini sendiri, dalam materi ini yaitu sesi pertama, pemateri merupakan Hannah. Sesi 1:Climate 101 oleh Hanna Astaranti.
Presentasi Climate 101 di Youth Climate Leadership Camp 2024 menguraikan perubahan iklim sebagai salah satu masalah paling mendesak pada zaman kita, mengancam stabilitas planet ini dan kesejahteraan semua makhluk di dalamnya. Climate Reality Project, sebuah organisasi global dengan cabang di berbagai negara, telah menjadi garda terdepan dalam meningkatkan kesadaran dan melibatkan pemuda dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Melalui berbagai kegiatan dan inisiatif, Climate Reality Project bertujuan untuk mendidik dan memberdayakan individu untuk bertindak dan berkontribusi dalam mencari solusi.
Di inti masalah perubahan iklim terdapat konsep pemanasan global. Atmosfer Bumi, yang bertindak sebagai selimut pelindung, semakin terkontaminasi oleh gas-gas rumah kaca, yang utamanya berasal dari aktivitas manusia seperti transportasi, proses industri, dan pertanian. Saat gas-gas ini mengumpul, mereka memerangkap panas di dalam atmosfer, menyebabkan kenaikan suhu global secara perlahan. Skala masalah ini sangat besar, dengan setara 750.000 bom atom dari gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer setiap harinya.
Dampak dari perubahan iklim sangat luas dan menghancurkan. Kejadian cuaca ekstrem seperti gelombang panas, kebakaran hutan, hujan deras, dan banjir semakin sering dan intens. Peningkatan permukaan air laut mengancam komunitas pesisir, dengan banyak kota yang berisiko tenggelam dalam waktu dekat. Ekosistem dan keanekaragaman hayati juga menjadi sasaran dari perubahan iklim, dengan pemutihan terumbu karang, kerusakan kehidupan laut, dan ketidakseimbangan gender pada spesies seperti penyu laut semakin jelas terlihat. Biaya karbon meluas melampaui implikasi finansial, meliputi kehilangan ekosistem, penyebaran penyakit menular, dan lain-lain.
Di tengah realitas yang mengkhawatirkan dari perubahan iklim, ada harapan untuk perubahan. Sumber energi terbarukan seperti tenaga angin dan tenaga surya menawarkan alternatif bersih dan berkelanjutan untuk bahan bakar fosil. Penggunaan kendaraan listrik juga mendapat momentum, dengan potensi untuk secara signifikan mengurangi emisi karbon dari transportasi. Ekosistem laut, termasuk mangrove, vegetasi pesisir, dan rumput laut, memainkan peran penting dalam penyerapan karbon dan harus dilindungi dan dipulihkan.
Solusi terhadap perubahan iklim memerlukan aksi di tiga tingkat: individu, bisnis dan organisasi, serta pemerintah. Individu dapat membuat perbedaan melalui perubahan gaya hidup, seperti mengurangi konsumsi energi, mengadopsi praktik berkelanjutan, dan menggunakan suara mereka untuk meningkatkan kesadaran. Bisnis dan organisasi harus berkomitmen pada target energi terbarukan dan menerapkan praktik berkelanjutan di seluruh operasinya. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon dan melindungi komunitas rentan.
Penanggulangan perubahan iklim membutuhkan kerjasama dan kolaborasi global.
Perjanjian Paris, yang ditandatangani oleh banyak negara, menetapkan tujuan ambisius untuk membatasi kenaikan suhu global dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Negara-negara telah berkomitmen untuk beraksi dan berkontribusi pada upaya kolektif ini. Perusahaan global juga telah menetapkan target energi terbarukan, mengakui peran mereka dalam mendorong transisi
ke masa depan yang berkelanjutan. Aksi dan kontribusi individu sangat penting dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Bergabung dan berpartisipasi dalam aksi mogok, menggunakan media sosial untuk meningkatkan kesadaran, dan berkontribusi melalui bakat dan passion pribadi adalah cara berharga untuk membuat perbedaan. Dengan berbicara jujur kepada penguasa dan menuntut perubahan, individu dapat bersama-sama membentuk masa depan planet kita.
Menuju acara selanjutnya, para peserta lebih dahulu terlibat dalam sesi interaktif.
Mereka diberikan kesempatan untuk bertanya dan berpartisipasi dalam kegiatan ice breaking yang dirancang untuk menjaga semangat dan fokus mereka tetap terjaga. Interaksi ini menunjukkan antusiasme tinggi dari para peserta.
Acara berlanjut ke sesi kedua yang berjudul “Session 2: Environmental Leadership & Theory of Change” yang dibawakan oleh Arifah Handayani, seorang Manajer Aksi Komunitas di Climate Reality Indonesia. Arifah menyampaikan materi yang sangat penting tentang kepemimpinan lingkungan dan teori perubahan, dengan menekankan betapa krusialnya peran pemimpin masa depan dalam menjaga dan melestarikan Bumi kita.
Arifah memulai dengan mengajukan pertanyaan mendasar: Mengapa pemimpin masa depan perlu memupuk kepemimpinan lingkungan? Dia menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang efektif harus memiliki visi yang jelas, kemampuan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, serta berorientasi pada tindakan nyata untuk mengatasi tantangan lingkungan. Untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang perubahan iklim, Arifah mengajak kita kembali ke dasar ilmu pengetahuan tentang bagaimana Bumi menerima dan melepaskan energi.
Matahari mengirimkan energi ke Bumi dalam bentuk cahaya yang kemudian diserap dan menghangatkan planet kita. Sebagian energi ini dipancarkan kembali ke angkasa dalam bentuk panas. Namun, gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) menjebak sebagian panas ini di atmosfer, menyebabkan efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global.
Aktivitas manusia, terutama melalui pembakaran bahan bakar fosil, telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Arifah menjelaskan bahwa setiap hari, kita mengeluarkan sekitar 152 juta ton polusi pemanasan global ke atmosfer. Polusi ini, terutama dalam bentuk CO2, menumpuk dan menjebak panas di atmosfer, seperti memasak Bumi dalam oven raksasa.
Dampak dari pemanasan global ini sangat nyata. Suhu global terus meningkat, lapisan es mencair, permukaan laut naik, dan cuaca ekstrem menjadi lebih sering terjadi. Arifah menyoroti bahwa 20 dari 21 tahun terpanas yang pernah tercatat terjadi sejak tahun 2002.
Bahkan, tahun-tahun terpanas semuanya terjadi dalam delapan tahun terakhir, menunjukkan pola pemanasan global yang jelas. Sebagian besar panas ekstra yang terperangkap oleh gas rumah kaca diserap oleh lautan. Lautan menyerap sekitar 93% dari panas ini, yang menyebabkan pemanasan lautan. Pemanasan ini memiliki dampak besar pada ekosistem laut, termasuk pemutihan terumbu karang yang rentan terhadap suhu tinggi.
Arifah menekankan bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengurangi dampak lingkungan kita. Setiap tindakan kecil, seperti mengurangi penggunaan plastik, beralih ke sumber energi terbarukan, dan mengurangi jejak karbon kita, dapat membantu mengurangi polusi dan melindungi planet kita. Dalam penutup presentasinya, Arifah mengajak kita semua untuk bertindak. Dia menyarankan berbagai solusi seperti mitigasi, yang melibatkan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan adaptasi, yang berarti menyesuaikan diri dengan perubahan iklim yang tidak bisa dihindari.
Arifah juga mendorong kita untuk mengadopsi gaya hidup rendah karbon sebagai salah satu cara efektif untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Dia mengingatkan kita bahwa tindakan kita hari ini akan menentukan masa depan planet kita. Sebagai pemimpin masa depan, kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa Bumi tetap menjadi tempat yang layak huni bagi generasi mendatang. Dengan memahami dan menghadapi tantangan perubahan iklim, kita bisa membuat perubahan nyata dan positif untuk planet kita.
Setelah sesi presentasi Arifah, seluruh peserta bersama dengan para fasilitator yang berjumlah sekitar 20 orang melanjutkan dengan melakukan tur area vila Kebunsu. Tujuan dari tur ini adalah agar para peserta dapat lebih familiar dengan lokasi untuk kegiatan berikutnya. Kegiatan yang dimaksud adalah Session 3 : treasure hunt, yang dirancang untuk mengumpulkan data terkait ekologi.
Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dan diberi tugas untuk mencari tanaman, hewan, dan tanah dalam lima kategori ekologi. Mereka diminta membawa 3-5 item yang dapat ditampilkan. Setelah kegiatan pencarian selesai, tiga kelompok acak dipilih untuk melakukan presentasi, yang termasuk sesi tanya jawab selama lima menit per kelompok.
Pertanyaan presentasi fokus pada observasi ekosistem yang mereka jelajahi, menemukan masalah di area tersebut, dan membawa sampel atau bukti tanpa merusak lingkungan.
Dalam presentasi ini, peserta diharapkan bisa mengidentifikasi dan menganalisis kondisi ekologi dari lingkungan sekitar mereka, serta mengajukan solusi berdasarkan temuan mereka. Aktivitas ini tidak hanya memperdalam pemahaman mereka tentang ekosistem lokal, tetapi juga melatih kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif, yang sangat penting bagi calon pemimpin lingkungan.
Setelah kegiatan sebelumnya yang interaktif, para peserta melanjutkan ke sesi keempat yang bertajuk “Sustain Engagement in Climate Action Initiatives,” yang dibawakan oleh Ari W. Adipratomo. Ari adalah seorang profesional dengan latar belakang pendidikan yang kuat di bidang hubungan internasional dan hukum lingkungan internasional. Dengan pengalaman profesional yang luas, termasuk sebagai Penasihat Program dan Kebijakan Karbon Rendah di UK Foreign Commonwealth and Development Office dan Manajer Advokasi di Climate Reality Project Indonesia, Ari membawa perspektif yang mendalam mengenai aksi iklim dan keterlibatan pemuda.
Dalam sesi ini, peserta diharapkan untuk mengeksplorasi tantangan dan peluang dalam melibatkan pemuda dalam inisiatif aksi iklim melalui lensa multi-pemangku kepentingan (model pentahelix). Selain itu, mereka juga diharapkan dapat mengembangkan program pemuda yang berkelanjutan dan mengidentifikasi strategi untuk mempertahankan keterlibatan pemuda dalam jangka panjang. Pentingnya mempertimbangkan nilai uang, sumber daya, dukungan politik, dan kebutuhan pemuda saat merancang dan mengimplementasikan program pemuda juga menjadi salah satu poin utama.
Ari memulai sesi dengan permainan interaktif yang membawa peserta ke tahun 2040, di mana perubahan iklim terus menjadi ancaman utama dengan semakin seringnya peristiwa
cuaca ekstrem dan kenaikan permukaan laut. Dalam skenario ini, daerah bernama Youthopia terkena dampak secara tidak proporsional, dan peserta, sebagai bagian dari kelompok multi- pemangku kepentingan, ditugaskan untuk mengembangkan program pemuda yang komprehensif yang memfasilitasi keterlibatan jangka panjang dalam inisiatif aksi iklim.
Para peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok yang masing-masing mewakili berbagai sektor dalam model pentahelix: Pemerintah, Sektor Bisnis, NGO (Gerakan Pemuda), Akademia, Pers, dan Donor Internasional. Pemerintah, yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pendidikan, fokus pada elemen program yang selaras dengan prioritas pemerintah, seperti pendidikan lingkungan dan strategi mitigasi iklim. Mereka memiliki anggaran tahunan yang terbatas tetapi dapat mempengaruhi kebijakan dan memiliki akses ke infrastruktur pendidikan. Sektor Bisnis menyediakan sumber daya yang sesuai dengan keahlian mereka, seperti lokakarya energi terbarukan dan magang di bidang pertanian berkelanjutan. Mereka dapat memberikan dukungan finansial atau donasi barang. NGO bertugas mengembangkan aktivitas program yang menarik dan mudah diakses serta memfasilitasi keterlibatan komunitas dan peluang kepemimpinan pemuda. Mereka memiliki jaringan dan keahlian dalam pengembangan pemuda dan pendidikan iklim. Akademia menyediakan data dan wawasan penelitian tentang perubahan iklim dan praktik terbaik untuk keterlibatan pemuda, serta bekerja sama dengan institusi pendidikan untuk mengembangkan materi kurikulum. Pers bertugas meningkatkan kesadaran tentang program pemuda dan inisiatif aksi iklim dengan memberikan platform untuk suara dan perspektif pemuda serta menjaga para pemangku kepentingan tetap bertanggung jawab. Donor Internasional memberikan dukungan finansial yang signifikan dengan kriteria tertentu, seperti hasil yang terukur dan keterlibatan komunitas. Mereka juga menawarkan keahlian dalam pemantauan dan evaluasi program.
Peserta diminta untuk merenungkan pelajaran kunci yang mereka peroleh dari pengalaman permainan ini, seperti pentingnya kolaborasi, memahami proposisi nilai dari berbagai pemangku kepentingan, serta menghargai tantangan dan peluang keterlibatan pemuda dalam aksi iklim. Mereka juga diminta untuk mengidentifikasi kekuatan dan keterbatasan dari kelompok pemangku kepentingan yang mereka wakili dan bagaimana sumber daya dan keahlian mereka dapat digunakan secara optimal dalam program kolaboratif.
Tim diminta untuk menyebutkan nama program kolaboratif pemuda yang mereka pilih, menyusun tujuan dan sasaran program secara keseluruhan, menentukan audiens target dan kebutuhan atau minat khusus dari pemuda yang mereka sasar, mendeskripsikan aktivitas utama program yang dirancang oleh kelompok mereka dan bagaimana aktivitas tersebut memenuhi tujuan program serta melibatkan pemuda. Mereka juga harus menjelaskan alokasi sumber daya (finansial, keahlian teknis, jaringan) di berbagai aktivitas program dan mengidentifikasi kesenjangan sumber daya yang perlu diatasi.
Kelompok diminta untuk mendeskripsikan strategi spesifik yang mereka gunakan untuk mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan dan bagaimana strategi tersebut berkontribusi pada pengembangan proposal program mereka. Mereka juga diminta untuk mengidentifikasi tantangan yang dihadapi selama proses kolaborasi dan bagaimana mereka mengatasi tantangan tersebut atau pendekatan alternatif yang dapat digunakan. Refleksi
tentang pembelajaran dari pengalaman kolaborasi ini sangat penting untuk diterapkan pada upaya kolaboratif di masa depan.
Setelah sesi keempat yang dibawakan oleh Ari Wijanarko Adipratomo, para peserta melanjutkan ke berbagai kegiatan penting yang dirancang untuk memperdalam pemahaman dan memperkuat keterlibatan mereka dalam program. Kegiatan dimulai dengan sesi tanya jawab (QnA) dan pemberian umpan balik yang memungkinkan peserta untuk mengklarifikasi poin-poin penting dan memberikan pandangan mereka tentang materi yang telah disampaikan. Ini diikuti oleh waktu istirahat (break) yang memberikan kesempatan bagi peserta untuk merefresh pikiran mereka sebelum melanjutkan ke aktivitas berikutnya.
Selanjutnya, peserta mengikuti sesi ice breaking yang dirancang untuk menjaga semangat dan fokus mereka. Ice breaking ini mencakup berbagai aktivitas interaktif yang tidak hanya menyegarkan pikiran tetapi juga memperkuat ikatan antar peserta. Setelah itu, para peserta mengambil bagian dalam kuis yang mencakup materi dari sesi 1 hingga 3, yang berfungsi sebagai cara untuk mengukur pemahaman mereka dan memperkuat pembelajaran yang telah terjadi.
Diskusi kelompok menjadi bagian penting dari kegiatan ini, di mana peserta bekerja dalam tim untuk mendiskusikan berbagai topik yang berkaitan dengan aksi iklim. Diskusi ini memberikan ruang bagi peserta untuk berbagi ide, pengalaman, dan strategi, serta untuk mengembangkan solusi bersama untuk tantangan yang dihadapi dalam advokasi iklim.
Setelah serangkaian kegiatan tersebut, peserta memasuki “Session 5: Youth Role in Advocacy Actions” yang dibawakan oleh Maike Lorenz, Kepala Lingkungan di Kedutaan Besar Republik Federal Jerman. Dalam sesi ini, Maike memfokuskan pada peran penting yang dapat dimainkan oleh kaum muda dalam advokasi iklim. Sesi ini sangat interaktif dan menuntut partisipasi aktif dari semua peserta. Maike mengajak peserta untuk bekerja secara berkelompok dan menjawab serangkaian pertanyaan melalui presentasi.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Maike meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan advokasi iklim oleh kaum muda. Beberapa pertanyaan utama termasuk: apa saja tindakan konkret yang dapat dilakukan oleh orang-orang muda untuk mendukung aksi iklim, langkah-langkah apa yang harus diambil untuk memulai advokasi yang efektif, serta pengalaman apa saja yang dapat dipetik dari rekan-rekan sebaya yang sudah terlibat dalam advokasi iklim. Selain itu, peserta juga diminta untuk mengidentifikasi hambatan utama yang dihadapi oleh kaum muda dalam memberikan advokasi terkait iklim.
Diskusi kelompok mengungkap berbagai hambatan yang dihadapi oleh kaum muda, salah satu yang paling menonjol adalah kurangnya keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu kelompok menyatakan bahwa sering kali orang dewasa tidak mengikutsertakan generasi muda dalam diskusi dan keputusan penting yang berkaitan dengan perubahan iklim, yang pada akhirnya menghambat kontribusi mereka secara penuh. Hambatan lainnya yang diidentifikasi termasuk kurangnya akses ke sumber daya, dukungan, dan platform untuk menyuarakan pendapat mereka.
Menuju sesi terakhir, pendekatan untuk memperbaiki bumi tidak hanya berpaku kepada sains, melainkan juga pada perspektif interfaith. Dalam sesi ini, “Session 6: Keberlanjutan Konservasi dari Perspektif Agama” keduanya berbagi tentang keberlanjutan konservasi dari perspektif agama.
Hayu Susilo Prabowo, seorang pemuka agama Islam, memberikan pemahaman melalui pandangan agama Islam dan fatwanya. Beliau menjelaskan bagaimana ajaran Islam mendorong umatnya untuk menjaga lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual mereka. Pak Hayu menyoroti konsep di mana setiap individu memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara alam sebagai amanah dari Tuhan. Sementara itu, Kak Hanna, sebagai perwakilan dari komunitas agama Kristiani, memberikan pemahamannya melalui pendekatan kegiatan umat Kristiani dalam mendukung bumi yang lebih sehat. Kak Hanna menjelaskan konsep pengelolaan yang bertanggung jawab atas ciptaan Tuhan, di mana umat Kristiani diajarkan untuk merawat bumi sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Ia memberikan contoh-contoh praktis seperti program gereja yang berkelanjutan dan inisiatif lingkungan yang dipimpin oleh komunitas Kristiani, seperti penghijauan, pengelolaan sampah, dan penggunaan energi terbarukan.
Untuk memantik diskusi dari sudut pandang berbagai agama, peserta diberikan pre- assignment yang meminta mereka untuk mengeksplorasi pandangan agama, budaya, atau kearifan lokal terkait keberlanjutan dan konservasi. Mereka diminta menulis esai yang menggambarkan bagaimana ajaran agama mereka atau kearifan lokal di komunitas mereka dapat berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Tugas ini tidak hanya mempersiapkan peserta dengan pengetahuan dasar, tetapi juga mengajak mereka merenungkan dan menggali nilai-nilai yang selama ini mungkin terabaikan dalam upaya pelestarian lingkungan.
Dengan pendekatan interfaith ini, sesi terakhir menjadi momen refleksi yang mendalam bagi para peserta, mengajarkan bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas ilmiah atau teknis, tetapi juga tugas moral dan spiritual. Sesi ini memberikan wawasan bahwa tindakan kecil yang didorong oleh keyakinan spiritual dan nilai-nilai agama dapat berkontribusi besar dalam menjaga keberlanjutan planet kita. Mencapai penghujung acara pada hari pertama, seluruh peserta diajak beristirahat pada pukul 21.00 waktu setempat.